Sabtu, 29 September 2018

10 tangkai bunga mawar impian

Aku berlari menuju keruang kelas. Hari ini aku tak boleh terlambat lagi. Karena hari ini ulangan bahasa indonesia. Walaupun aku belum belajar, tapi aku tetap harus mengikuti ulangan itu. Aku langsung duduk dibangkuku, dan menarik nafas. Belum mengeluarkan nafas itu, aku sudah dikejutkan dengan suara bu hanif.
"Siapa yang suruh kamu duduk?" Kata bu hanif. Aku terkejut, aku mengeluarkan nafas itu.
"Maaf bu, saya terlambat" jawabku sambil menatap kebawah.
"Saya sudah tau itu, seisi kelaspun tau kalo kamu terlambat" katanya dengan nada keras.
"Lebih baik kamu tidur saja lagi dirumah. Tak perlu mengikuti pelajaran saya" lanjutnya.
"Tapi bu..." belum selesai aku berbicara. Bu hanif sudah memotongnya.
"Tak perlu tapi-tapi. Saya minta kamu keluar" jawabnya dengan nada keras. Nampak sekali kalo dia sedang marah. Akupun menurutinya, aku keluar dari kelas itu. Di depan pintu kelas, aku dipanggil oleh bu hanif.
"Siska" akupun berbalik badan.
"Sebagai gantinya aku ingin kau membuat wawancara dengan seorang pemulung" lanjutnya. Aku terkejut, aku sangat jijik dengan pemulung.
"Tapi bu, jangan pemulung yang lain aja. Seperti penjual buah, kue. Pemilik restoran, hotel..." belum selesai aku bicara. Bu niken sudah memotongnya.
"Cukup" katanya dengan nada keras.
"Pemulung atau nilai rapot kamu kosong" lanjutnya. Aku terdiam. Aku benci dengan pemulung, dia sangat jorok. Wajahnya, bajunya. Oh, sangat menjijikkan.
"Saya kasih waktu kamu 2 hari. Besok rabu kamu harus mengumpulkannya" kata bu hanif.
"Kalau hari rabu dimeja saya belum ada tugas kamu. Nilai rapot kamu kosong" lanjutnya.
"Baiklah bu" jawabku. Ya, walaupun terpaksa. Bahkan sangat terpaksa. Aku meninggalkan kelas itu. Aku tak tau harus kemana mencari seorang pemulung.
Ada seorang wanita, dia menjatuhkan sebuah buku tua. Buku itu lusuh. Aku mendekati buku itu. Aku mengambilnya, buku inj seperti buku diary.
"Hay, kau menjatuhkan bukumu" kataku sambil mengulurkan bukunya. Tetapi dia sudah tiada, dia sudah hilang. Aku ingin mencoba membuka buku itu.
"Ada apa?" Kata pak satpam penjaga sekolah. Bertanya kepadaku.
"Wanita tadi menjatuhkan buku ini" jawabku dan menunjukkan buku itu.
"Oh, dia. Pemulung itu maksudmu ?" Kata pak satpam.
"Pemulung?" Tanyaku heran, mana mungkin seorang pemulung menulis diary.
"Ya, dia seorang pemulung. Apa kau mau mengembalikannya. Rumahnya tak jauh dari sini" jawabnya.
"Apa dia sering kesini" tanyaku.
"Iya, hanya hari senin saja" jawab pak satpam.
"Dia setiap hari senin rutin kesini. Untuk membersihkan halaman. Orangnya sangat rajin" lanjutnya. Aku tambah merasa bingung aku tak tau apa maksudnya.
"Aku tak mengerti" kataku. Aku benar-benar tak mengerti.
"Temui saja dirumahnya. Rumahnya dibelakang sekolah ini." Kata pak satpam itu. Oh tuhan, aku tak mungkin kerumahnya. Rumahnya pasti sangat kotor dan bau. Apalagi pasti akan ada banyak sampah disana. Itu sangat menjijikkan.
Tapi kalo aku tak kesana bagaimana dengan tugasku. Aku tak mungkin mendapatkan nilai. Raporku akan kosong, dan itu sangat kejam bagiku.
Aku berjalan meninggalkan pak satpam itu. Aku keluar gerbang. Kenapa aku merasa sangat lelah. Padahal aku belum melakukan apa-apa. Lebih baik aku duduk dulu dibawah pohon itu, dan membaca buku diary ini. Aku duduk dan mulai membuka buku diary itu.
Mawar.
Maafkan aku ibu, dari dulu sampai sekarang. Aku hanya dapat membelikan satu tangkai bunga mawar dihari ulangtahun ibu. Aku belum bisa menepati janjiku.
Aku berjanji ibu, aku akan membelikan 10 tangkai bunga mawar untuk ibu di tabun ini. Aku masih ingat ibu. Ibu pergi menginggalkanku dihari ulang tahun ibu. Dan tahun ini adalah 10 tahun ibu meninggalkanku.
20 april 2000, aku berjanji.
Mila sayang ibu 😭
"Mila? Namanya mila" kataku dalam hati. Fikiranku menuju ke 10 tahun lalu. Waktu aku berjalan-jalan dipinggir kota. Pamanku menabrak seorang pemulung. Aku dan ayahku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Ibu itu menyebut nama mila. Ya, nama mila. Jangan-jangan, sudahlah mungkin itu hanya perasaanku saja.
Oh, ini tanggal 20 april 2000. Jadi hari ini. Aku harus kesana. Aku berjalan menuju kebelakang sekolah. Ya disini ada satu rumah. Tetapi rumah ini sangat bersih, tidak ada sampah sama sekali. Tak ada botol-botol disini, tak ada bau yang menjijikkan disini. Aku melihat satu tangkai bunga mawar dimeja.
Aku menuju kerumahnya aku mengetuk pintu. Dan berkata.
"Permisi" kataku. Dia membukakan pintu. Ternyata dia tak sejelek yang aku bayangkan.
"Ada yang bisa saya bantu?" Katanya.
"Aku dapat tugas dari bu hanif untuk mewawancarai seorang pemulung. Apa kau mau membantuku" tanyaku.
"Baiklah, silahkan masuk" jawabnya, akupun duduk. Dia duduk disampingku. Aku mengeluarkan hanphone untuk merekan jawabannya.
"Siap?" Tanyaku. Dia mengangguk. Akupun memulai pertanyaan.
"Apa pekerjaan ini sangat menguntungkan?" Tanyaku.
"Tak begitu menguntungkan bagi orang lain. Tapi sangat menguntungkan bagiku" jawabnya.
"Kenapa begitu?" Tanyaku.
"Karena pekerjaan ini mampu membuatku bertahan hidup. Walaupun hanya cukup untuk makan sehari-hari" jawabnya.
"Kenapa tidak cari pekerjaan yang lebih menguntungkan. Seperti penjaga toko atau apalah?" Tanyaku.
"Tidak" jawabnya singkat.
"Kenapa begitu ?" Tanyaku.
"Pekerjaan ini sangat berarti bagi ibuku. Dia menghidupiku sejak aku masih dikandung, dan sudah di dunia ini. Dengan pekerjaan ini. Aku tak mungkin meninggalkan pekerjaan ini" jawabnya.
"Walaupun aku tau, itu sangat menjijikkan bagi orang lain. Aku tau kamupun merasa jijik. Tak usah menutupinya semua orangpun tau. Kalo pekerjaan ini sangat jorok. Tapi ini salah satu dari kehidupanku. Tanpa ini aku tak ada disini. Aku tak mungkin lahir didunia. Ini pekerjaan sulit, tapi mudah untukku. Karena ini sudah masuk kedalam darahku" lanjutnya.
"Kalo tidak salah kau sering kesekolah" tanyaku.
"Ya, aku punya pekerjaan sampingan disana. Menjadi pembersih kebun. Tapi hanya hari senin. Untuk mengantikan kakekku. Karena setiap hari senin dia slalu termenung dirumah" jawabnya.
"Apa kau tak sekolah" tanyaku.
"Tidak. Untuk bisa bertahan hidup, itu saja aku sudah senang. Jadi tak perlu untuk sekolah" jawabnya.
"Sekolah itu penting" kataku.
"Penting untuk kalian yang bisa bertahan hidup tanpa susah payah. Bukan aku" jawabnya.
"Kenapa kakekmu termenung" tanyaku.
"Itu masalah keluargaku" jawabnya.
"Kenapa kau tak mengalahkan ibumu. Kenapa dia tak menyekolahkanmu?" Kataku. Aku kesal dengan perkataannya.
"Kau tau apa tentang ibuku. Aku tak mengenalmu sebelumnya" sepertinya dia mulai marah.
"Maaf" kataku.
"Tak perlu minta maaf. Sudah pergilah, kau sudah dapat apa yang kau inginkan" katanya, mengusirku. Oh, menyebalkan.
"Maaf dimana ibumu" tanyaku.
"Pergilah. Kau tak perlu tau" katanya.
"Kau mila ?" Tanyaku. Dia terkejut. Mungkin dia tak tau kalo aku tau namanya.
"Ini. Kau menjatuhkan ini tadi" lanjutku. Sambil mengulurkan buku diary itu. Dia mengambilnya.
"Aku hanya ingin tau. Kenapa dengan ibumu?" Tanyaku. Tatapannya menerawang jauh kemasalalu.
"20 april 1990 aku berumur 7 tahun. Saat itu aku sakit, jadi aku tak ikut ibuku mencari botol bekas dipinggir kota. Aku dirumah, tetapi entah kenapa aku slalu khawatir. Sampai malam aku tak melihat ibuku, ibuku belum pulang. Dan..." kata-katanya berhenti, dia meneteskan air mata.
"Dan kenapa?" Tanyaku penasaran.
"Aku tak tau. Aku tak bisa" jawabnya.
"Percayalah. Kau bisa" kataku.
"Kenapa kau slalu memaksaku" tanyanya.
"Aku hanya ingin kebenaran" kataku.
"Pergilah" katanya.
"Aku sayang pada ibuku. Aku tak malu menceritakan ibuku. Kenapa kau tidak. Ibuku baik, aku yakin ibumu juga" kataku.
"Ibumu masih hidup?" Tanyanya.
"Masih" jawabku.
"Kita sama" lanjutku.
"Kau salah! Kita berbeda. Kita sangat berbeda. Kau punya ibu, aku tak punya" katanya.
"Kau tau apa yang terjadi. Keesokan harinya ibuku pulang dengan keadaan tak bernyawa. Kakekku menemukannya tergeletak dipinggir kota. Orang macam apa yang telah membunuh orang yang sudah kesusahan seperti ibuku. Aku masih bisa memaafkan dia, jika dia mau tanggung jawab. Tapi apa, orang kaya seperti mereka memang tak punya hati" lanjutnya. Dia sangat marah, tapi air matanya tak berhenti mengalir.
"Pergilah. Aku tak mau melihat orang kaya dihadapanku. Pergilah" katanya. Aku tau dia pasti sangat rapuh saat ini, aku berlari menuju kerumahku. Pamanku sangat keterlaluan. Aku kasian pada anak itu. Aku tau bagaimana rasanya. Aku tau. Aku hanya berlari dengan manangis. Aku tak tau apa yang telah kuperbuat. Aku tak bersalah, tetapi aku merasa. Akulah yang salah.
Aku membuka pintu rumah dengan kencang. Aku melihat ayahku duduk dikursi, dia mengulurkan sebuah kertas.
"Ayah kenapa?" Tanyaku, aku sangat khawatir.
"Pamanmu..." kata ayah lemah. Aku mengambil kertas itu.
"Ayah tak tau harus bagaimana lagi. Itu pesan terakhir pamanmu. Dia sudah pergi" lanjut ayahku. Aku membuka dan membacanya.
Aku minta tolong. Aku sangat menyesal. Selama 10 tahun ini, aku hidup dengan rasa bersalah. Aku tau umurku tak lama lagi. Aku hanya ingin bertanggung jawab. Tolong belikan hadiah yang disukai anak pemulung itu. Penuhi kebutuhannya. Dan sampaikan maafku padanya.
Aku benar-benar memohon padamu
Terimakasih
"Ayah tak tau harus kemana. Ternyata itu impian pamanmu" kata ayahku.
"Aku tau ayah. Berikan uangnya padaku. Aku akan kesana" kataku. Ayah memberikan uang 20 juta kepadaku. Aku berlari menuju ketoko bunga untuk membeli 10 tangkai bunga mawar. Aku berlari menuju ke makam.
Aku melihat mila disana. Dia memegang nisan ibunya. Aku bersembunyi dibalik pohon. Oh aku lupa, aku menulis surat.
Maafkan aku, aku sangat menyesal. Aku yang menabrak ibumu. Terimalah ini, hadiah untuk ibumu. Aku baru bisa bertanggung jawab sekarang. Karena aku tak tau dimana rumahmu.
Maafkan aku.
Itu pamanku. Dia meninggal hari ini. Aku mohon maafkan dia.
Terimakasih.
"Aku mau mengambil buku pemberian ibu" katanya. Mila langsung pergi meninggalkan makam ibunya. Aku buru-buru menaruh surat, uang dan bunga itu dimakam.
"Tante. Maafkan pamanku, dia sudah menyesali semuanya. Sekarang paman sudah pergi. Dia sudah tiada. Maafkan dia" aku tak dapat menahan air mata ini. Aku segera bersembunyi lagi. Aku tak mau mila tau tentang ini.
Mila datang dengan membawa diary. Dia melihat semua barang itu. Dia membuka surat itu. Dia tersenyum. Lalu berkata.
"Aku sudah memaafkan dia ibu. Dia akan tenang bersama ibu" langsung memeluk nisan ibunya.
Oh tuhan, betapa baik hati wanita itu. Paman aku sudah mewujudkan impian paman. Semoga paman tenang disana.
Terimakasih tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar